WHAT'S NEW?
Loading...

Outsourcing, Kelebihan dan Kelemahan dalam Pengembangan Sistem Informasi Manajemen

*dibuat sebagai tugas MK Sistem Informasi Manajemen


Latar Belakang

Keberhasilan pengembangan system informasi saat ini telah menjadi salah satu indicator dari kinerja organisasi yang menjadi sorotan, bukan saja dari aspek operasional perusahaan, tatpi juga hubungannya dengan kepercayaan pelanggan. Perusahaan dengan dukungan IT yang baik dan memadai akan memiliki nilai plus dari pesaingnya berupa respon yang lebih cepat, efisiensi dan efektifitas pelaksanaan pekerjaan yang meningkat, identifikasi dan penanganan masalah secara lebih akurat, serta kepercayaan terhadap delivery pekerjaan.

Keunggulan-keunggulan tersebut yang membuat banyak pihak meningkatkan konsentrasi dalam pembangunan system informasinya. DIlain pihak, proses pembangunan system informasi terkadang bersifat temporary dan menimbulkan banyak masalah seperti kurangnya SDM yang handal, besarnya biaya investasi bagi pelatihan dan pengembangan, dukungan hardware yang kurang memadai hingga masalah klasik, kurangnya waktu manajemen untuk memperhatikan detil pengembangan system informasi.

Salah satu solusi yang banyak digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut ialah penggunaan jasa outsourcing IT. Bentuknya bias bermacam-macam, baik aspke pengembangan, perawatan, bahkan konversi system. Fenomena outsourcing saat ini sudah menjadi diskusi banyak pihak, khususnya dalam permasalahan efektivitas dan keberhasilan pelaksanaan pelaksanaannya.

Artikel ini akan membahas secara singkat tentang outsourcing dalam bidang system informasi, aplikasi outsourcing, kelebihan outsourcing dan kekurangannya hingga aspek-aspek yang dibutuhkan dalam pelaksanaan outsourcing.

Definisi Outsourcing

Secara definitive, Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak. Istilah Outsourcing ini juga sering disebut juga system kerja kontrak. Definisi lainnya dari outsourcing atau alih daya merupakan proses pemindahan tanggung jawab tenaga kerja dari perusahaan induk ke perusahaan lain diluar perusahaan induk. Perusahaan diluar perusahaan induk bisa berupa vendor, koperasi ataupun instansi lain yang diatur dalam suatu kesepakatan tertentu. Outsourcing dalam regulasi ketenagakerjaan bisa hanya mencakup tenaga kerja pada proses pendukung (non--core business unit) atau secara praktek semua lini kerja bisa dialihkan sebagai unit outsourcing. (Sumber : “Seputar Tentang Tenaga Outsourcing”, http://malangnet.wordpress.com)

Secara umum, jasa IT yang biasanya di outsourcing adalah jaringan, desktop, aplikasi dan web hosting. Carrie dan Indrajit membedakan IT outsourcing kedalam 4 bagian, yaitu :

  1. Total Outsourcing, yaitu sepenuhnya menyerahkan semuanya ke pihak lain, baik hardware, software, dan brainware.

  2. Total Insourcing, peminjaman atau penyewaan sumber daya manusia yang dimiliki oleh pihak lain yang di pakai dalam jangka waktu tertentu.

  3. Selective Sourcing, perusahaan memilah-milah bagian mana yang akan di serah ke pada pihak lain, dan bagian yang tidak di berikan tersebut akan dikelola oleh perusahana sendiri.

  4. De facto insourcing, menyerahkan semua yang menyangkut IT ke perusahaan lain dikarenakan adanya latar belakang sejarah.

Dalam mengevaluasi manfaat IT outsourcing, perusahaan tidak hanya perlu mempertimbangkan penggabungan yang kompleks antara masalah bisnis dan teknis tetapi perusahaan juga harus menyingkirkan rasa takut kehilangan control terhadap sistem yang sudah ada. Kendala ini umum terjadi pada perusahaan yang akan menggunakan jasa outsourcing dalam pengembangan IT systemnya. Selama beberapa dekade, eksekutif di banyak perusahaan telah dikondisikan untuk terlibat langsung dalam pengelolaan IT, baik berupa staf TI, prosedur, dan infrastruktur.

Pro Kontra Outsourcing Sistem Informasi

Dalam sebagian besar lingkungan bisnis, sudah menjadi rahasia umum bahwa perbandingan objektif antara pengelolaan IT secara internal dan layanan outsourcing IT akan mengungkapkan perbedaan yang signifikan dari segi keuntungan biaya, kehandalan, kualitas, kecepatan, dan fleksibilitas. Outsourcing IT memiliki beberapa kelebihan bagi perusahaan dibanding pengelolaan IT secara insource, yaitu memberikan kesempatan untuk meningkatkan operasional dan dukungan; meningkatkan produktivitas; mengurangi pengeluaran, mendapatkan akses ke teknologi-teknologi baru, dan untuk meningkatkan tingkat kompetitif di pasar. Kajian lainnya juga mengungkapkan keuntungan lainnya seperti IT outsourcing memungkinkan percepatan adaptasi dan transformasi bisnis terhadap perubahan pasar atau ancaman para pesaing..

Salah satu perhatian dalam TI outsourcing adalah pemilihan mitra kerja yang sesuai, memahami kompleksitas keputusan outsourcing dan memiliki terbukti pendekatan untuk membantu perusahaan mencapai berbagai manfaat bisnis dimungkinkan oleh outsourcing.

Pada tahapan pelaksanaan, outsourcing IT mengalami beberapa pertentangan, baik dari pihak yang mendukung maupun pihak yang menolak. Alasan yang dikemukakan oleh pihak yang mendukung diantaranya adalah :

  • Dapat lebih fokus kepada core business yang sedang di jalankan.

  • Dapat mengurangi biaya.

  • Dapat mengubah biaya investasi menjadi biaya belanja.

  • Tidak dipusingkan jika terjadi turn over tenaga kerja.

  • Merupakan modernisasi dunia usaha.

  • Efektivitas manpower.

  • Tidak perlu membuang-buang waktu dan tenaga untuk suatu pekerjaan yang bukan merupakan inti bisnis atau pekerjaan yang bukan utama.

  • Memberdayakan anak perusahaan.

  • Dealing with unpredicted business condition.

Kelebihan lainnya yang dijabarkan oleh Verizon, salah satu outsourcing IT Internasional adalah berikut ini :

  1. Pendayagunaan tim IT internal secara lebih baik

Biasanya, dukungan sumber daya IT dibagi antara dua tujuan, yaitu pengembangan sistem informasi yang sesuai dengan pasar dan efiesnsi operasional. Dengan outsourcing, manajemen dapat berfokus pada pengembangan sistem yang sesuai pasar tanpa harus memikirkan pelaksanaan kegiatan operasional. Pelaksanaan operasional seperti memperbarui dari server load balancing, sistem pemantauan dan tuning, perencanaan kapasitas, membantu operasi meja, dan fungsi-fungsi TI lainnya rutin dapat diserahkan kepada outsourcing yang berkualitas. Singkatnya, perusahaan bebas untuk berkonsentrasi pada bisnis inti, dan penyedia outsource dapat berkonsentrasi pada bisnis intinya, yaitu support sistem operasional sehari-hari.

  1. Mengurangi overhead TI

Dengan outsourcing, perusahaan dapat mengurangi atau menghilangkan biaya administrasi sistem dan jaringan, serta tambahan sistemik dan proses dukungan sehingga perusahaan dapat melakukan investasi yang lebih besar dalam bisnis inti seperti akuisisi pelanggan, hubungan manajemen, manufaktur atau kegiatan distribusi. Sebuah penelitian oleh IDC tentang outsourcing baru-baru ini menunjukkan bahwa 12 perusahaan yang disurvei menyadari bisnis dapat bergerak lebih baik dengan mengurangi biaya TI fasilitas sebagai lantai-ruang, pemanas dan pendingin udara, konsumsi listrik, penggunaan UPS, pencegah kebakaran, pengarsipan, dan manajemen fasilitas.



  1. Mengurangi pengeluaran modal

Outsourcing operasi TI dapat membiayai atau tingkat investasi modal tradisional di infrastruktur dan migrasi teknologi selanjutnya dapat dibiayai untuk keperluan operasi. Sebagai manfaat tambahan, Anda dapat membayar biaya operasi ini pada transaksi per dasar. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk mengatur variasi pengeluaran sesuai dengan permintaan atau disesuaikan dengan kebutuhan pasar.

  1. Peningkatan kinerja dan kehandalan TI

Pengurangan bahkan eliminasi kesalahan operasional dan inefisiensi adalah salah satu keuntungan yang paling penting dari outsourcing. Penyedia Outsourcing mempekerjakan staf berpengalaman yang mematuhi persyaratan yang ketat dan terdokumentasi dengan baik dalam buku panduan. Penyedia Outsource melakukan investasi pada SDM, teknologi, dan proses yang memungkinkan tingkat layanan dan kualitas yang jika dilakukan oleh perusahaansecara mandiri akan sulit dilakukan karena tingginya investasi.

  1. Keunggulan teknologi dari pesaing

Outsourcing menyediakan tidak hanya pada best practice , tetapi juga untuk best practice yang sedang berkembang secepat best practice tersebut dikembangkan. Pada era globalisasi strategi bisnis kerapkali dihubungkan dengan perkembangan teknologi sehingga akses awal untuk kemampuan TI baru dapat menjadi keuntungan yang berbeda dalam persaingan memperebutkan pasar.

  1. Kontingensi dan kontinuitas Bisnis

Permasalahan utama dalam pengelolan IT secara insource adalah penyedia beroperasi dalam fasilitas dengan pasokan listrik yang berlebihan, alternatif sambungan telekomunikasi, dan kelebihan kemampuan prosesing. Pada tahapan tertentu hal tersebut dapat menyebabkan pemborosan Dengan outsource masalah-masalah tersebut dapat teratasi. Selain itu outsource dapat menyediakan system yang melanjutkan operasi bahkan setelah kesalahan besar atau system kegagalan. Banyak outsource juga memelihara situs pemulihan bencana yang mereka dapat pindah ke dalam waktu singkat tanpa harus fasilitas utama terpengaruh oleh suatu gangguan.

(sumber : Verizon Information Technology)

Selain pihak yang mendukung Out sourcing, ada juga pihak yang menolak penerapan outsourcing IT di perusahaan dengan beberapa alasan. Issue paling utama ialah masalah biaya dan aspek pengendalian terhadap system. Selain alasan utama tersebut, ada juga beberapa alasan lainnya seperti :

  • Status ketenagakerjaan yang tidak pasti.

  • Adanya perbedaan kompensasi dan benefit antara tenaga kerja internal dengan tenaga kerja outsourcing.

  • Career path dari outsourcing kurang terencana dan kurang terarah.

  • Para pihak pengguna jasa dapat memungkinkan melakukan pemutusan hubungan kerjasama dengan pihak outsourcing provider secara sepihak sehingga dapat mengakibatnya status mereka menjadi tidak jelas.

  • Produktivitas justru menurun jika perusahaan outsourcing yang dipilih tidak kompeten

  • Terkena kewajiban ketenagakerjaan jika perjanjian kerjasama dengan perusahaan outsourcing tidak diatur dengan tegas dan jelas diawal kerja sama

  • Regulasi yang belum kondusif akan membuat penentuan core dan non core juga belum jelas

  • Pemilihan perusahaan jasa outsourcing yang salah bisa berakibat beralihnya status hubungan kerja dari perusahaan pemberi jasa pekerja ke perusahaan penerima jasa pekerja

  • Informasi merupakan asset berharga bagi perusahaan, jika tidak dikelola dengan baik maka akan jadi masalah bagi perusahaan tersebut

  • Dalam menetapkan strategi hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan IT outsourcing

  • Managerial Control issue



Kualifikasi Penting bagi Outsourcing IT

Ketika perusahaan melakukan outsourcing TI strategi, praktik bisnis perusahaan mandat yang mempertimbangkan layanan penyedia layanan yang dapat menunjukkan sebagai berikut:
1. Eksekutif manajemen yang kuat

2. Pemahaman tentang ruang lingkup layanan yang dibutuhkan

3. Sebuah catatan terbukti terkait kinerja dalam memenuhi ruang lingkup tanggung jawab

4. Kedalaman dan stabilitas keuangan

5. Kedalaman jasa untuk memenuhi jumlah kebutuhan terbesar sebagai sumber tunggal.

6. Teknis dan sumber daya manusia yang dapat dibawa ke beruang ketika perubahan pelanggan atau tumbuh usaha

Keenam faktor penentu keberhasilan memberikan pemahaman tentang jenis kebutuhan outsource perusahaan saat ini dan masa depan kepada penyedia jasa untuk outsourcing TI. Masing-masing sama pentingnya dengan dampak bisnis secara keseluruhan dan kualitas layanan yang diberikan. Banyak perusahaan biasanya hanya memeriksa beberapa ukuran kuantitatif seperti return-on-investasi (ROI), payback, tingkat-internal-kembali (IRR), return-on-aset (ROA), atau nilai tambah ekonomi (EVA) - dan memang seharusnya begitu, karena ini penting pengukuran untuk evaluasi. Namun, penilaian yang paling baik dan cenderung sudah terbukti ialah mengintegrasikan faktor-faktor yang tercantum di atas ke dalam evaluasi vendor analisis untuk memastikan hasil yang sukses hubungan outsourcing.

Kesimpulan

Pelaksanaan outsourcing system informasi, secara umum merupakan pilihan yang baik. Terlepas dari pendapat tentang pelaksanaan outsourcing itu sendiri. Akan tetapi, jika dilihat dari sisi focus bisnis dan akses terhadap teknologi terbaru dan best practicenya, maka penerapan outsourcing adalah solusi terbaik dari pengembangan system informasi. Penggunaan outsourcing juga bukan pilihan yang bebas resiko. Ketika menggunakan outsourcing maka secara tidak langsung perusahaan harus bersiap dengan kemungkinan pengendalian system yang dialihkan serta pemilihan vendor outsource yang memiliki kapabilitas dan kompetensi yang memadai.


PERENCANAAN SUMBERDAYA MANUSIA SEBAGAI RENCANA STRATEGIS PERLUASAN BISNIS : STUDI KASUS SBU TRADE SUPPORT SERVICES PT. X

*dibuat sebagai tugas MK. Manajemen Sumber Daya Manusia

ABSTRAK

Perencanaan sumberdaya manusia memiliki peranan penting dalam proses perkembangan perusahaan. Fungsi manusia sebagai faktor utama pelaksana kegiatan bisnis menjadikan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya manusia perlu dilakukan dengan seksama dan terarah. Proses penyusunan perencanaan sumberdaya manusia tidak hanya diperlukan dalam proses awal pembentukan perusahaan, tetapi juga pada saat perusahaan memutuskan adanya perubahan strategis. Kemampuan pengembangan sumberdaya manusia menyesuaikan dengan tujuan perusahaan akan berdampak pada pencapaiaan perusahaan tersebut.

Salah satu cabang PT. Surveyor Indonesia, yaitu SBU TSS melakukan perencanaan sumberdaya manusia sebagai langkah penyesuaian yang dilakukan oleh Direksi, yaitu berupa merger dan perluasan pangsa pasar. Berdasarkan hasil identifikasi Divisi Manajemen Risiko dan internal audit, diketahui bahwa permasalahan utama adalah organisasi kerja yang kurang memadai, tidak jelasnya proses bisnis perusahaan serta tidak sinerginya perencanaan SDM dengan kebijakan strategis perusahaan.

Manajemen SBU TSS melakukan perubahan sebagai tindak lanjut hasil audit tersebut berupa restrukturisasi organisasi, penyesuaiaan job description dan job differentiation, serta mengembangkan metode pengukuran kinerja. Perubahan manajemen sumberdaya tersebut berdampak terhadap meningkatnya kinerja karyawan dan keuntungan perusahaan.

Kasus Perubahan Perencanaan Sumberdaya Manusia di Strategic Branch Unit Trade Support Services PT. X

Kasus yang diangkat dalam makalah ini adalah proses perubahan perencanaan sumberdaya manusia di PT. X khususnya di SBU Kelautan, Lingkungan dan Kehutanan (SBU KLK). Pada akhir tahun 2008, tercatat SBU KLK tidak dapat mencapai target yang diberikan oleh Direksi, yaitu revenue sebesar 20 milyar yang berdampak pada kerugian akibat tidak tertutupinya operasional sebesar 1 milyar. Manajemen PT. X melalui Rapat Pimpinan memutuskan untuk memberikan waktu kepada Kepala SBU satu tahun untuk memperbaiki kinerja SBU KLK. Jika kinerja tidak kunjung membaik maka SBU KLK akan di tutup dan pegawainya dialihkan. Selain itu, Direksi memutuskan SBU KLK di audit oleh Divisi Manajemen Resiko untuk mengetahui akar permasalahan yang terjadi untuk kemudian memberikan solusi dan rekomendasi terhadap permasalahan yang ada

Hasil identifikasi permasalahan oleh Divisi Manajemen Resiko menyebutkan ada beberapa permasalahan utama yang terjadi di SBU KLK, diantaranya : (1) proses bisnis perusahaan yang tidak berjalan dengan baik; (2) kelembagaan yang kurang terstruktur; serta (3) motivasi dan kesejahteraan pegawai yang kurang;. Hasil rekomendasi tersebut kemudian disampaikan pada Direksi dan manajemen SBU KLK. Setelah mengkaji permasalahan tersebut, Direksi pun memutuskan untuk melakukan perubahan besar dengan mengganti jajaran manajemen SBU KLK serta melakukan merger dengan SBU lainnya. Nama SBU Kelautan, Lingkungan dan Kehutanan pun dirubah menjadi SBU Trade Support Services (SBU TSS). Dengan manajemen yang baru, perluasan pasar, serta sumberdaya yang berlimpah, SBU TSS diharapkan dapat memberikan kinerja yang lebih baik. Target revenue yang dibebankan juga meningkat dari 20 milyar pada tahun 2008 menjadi 55 milyar pada tahun 2009.

Manajemen yang baru pun melakukan evaluasi internal sebagai bagian dari perubahan bisnis perusahaan. Terdapat beberapa perubahan mendasar. Salah satu yang menjadi sorotan utama adalah perencanaan SDM. Beberapa permasalahan yang diidentifikasi menjadi penyebab buruknya kinerja karyawan adalah :

  • 1. Kelembagaan internal yang tidak terstruktur dengan baik
  • 2. Tumpang tindih dan ketidakjelasan job description dan job differentiation
  • 3. Metode seleksi yang tertutup dan bersifat rekomendasi
  • 4. Kurang memadainya personil yang bertugas sehingga terjadi penumpukan pekerjaan dan menghambat proses bisnis secara keseluruhan

Terhadap permasalahan tersebut, manajemen melakukan beberapa tindakan strategis untuk memastikan sistem berjalan sesuai perubahan strategi dan target. Perubahan tersebut diantaranya adalah :

  • 1. Perubahan organisasi di internal SBU TSS, diantaranya pemisahan fungsi manajer operasi dan manajer pengembangan produk
  • 2. Penyesuaiaan beban pekerjaan yang awalnya terpusat pada beberapa orang menjadi disebar pada pegawai lainnya
  • 3. Identifikasi kebutuhan SDM terkait adanya merger dan perluasan target pasar.
  • 4. Pembagian serta perapihan job description dan job differentiation
  • 5. Penetapan metode control kinerja melalui penerapan key performance indikator (KPI) dan project progress report (PRR)

Pembenahan yang dilakukan oleh Manajemen SBU TSS selama kurun waktu 3 bulan berdampak banyak terhadap kinerja SBU secara keseluruhan. Tercatat, pada bulan ke 8 tahun 2009, target revenue sudah terpenuhi. Walaupun proses pelaksanaan pekerjaan masih berlangsung sehingga keuntungan bersih belum dapat di perkirakan secara detail.

Ulasan Kasus

Kasus yang terjadi di SBU TSS PT. X tersebut dapat dianalisis dari beberapa sisi. Permasalahan tidak terpenuhinya revenue yang ditargetkan dapat disebabkan oleh beberapa penyebab, diantaranya organisasi pekerjaan yang kurang memadai, tidak jelasnya proses bisnis perusahaan serta tidak sinerginya perencanaan SDM dengan kebijakan strategis perusahaan. Salah satu yang paling terlihat adalah organisasi perusahaan yang kurang memadai.

Organisasi di SBU KLK terdiri dari General Manager pada layer paling atas, Manajer Operasi yang bertanggung jawab terhadap seluruh kinerja SBU, mulai dari pengembangan produk, persiapan tender, pelaksanaan project, hingga pengawasan kinerja. Selain itu, Manager Operasi juga bertanggung jawab terhadap perekrutan pegawai dan penentuan job descriptionnya. Banyaknya tanggung jawab yang di emban manager operasi tersebut berakibat tidak berjalannya fungsi pengembangan dan controlling terhadap keseluruhan proses bisnis. Dampak lainnya adalah proses perekrutan dan pembinaan yang hanya tersedia bagi karyawan lama dengan status pegawai tetap. Proses tersebut juga mengikuti arahan dan petunjuk dari Bagian SDM kantor pusat sehingga hasilnya tidak maksimal.

Secara umum dapat dilihat bahwa peran pengembangan SDM tidak menjadi perhatian utama pada manajemen lama. Kebijakan SDM hanya mengacu pada kebijakan kantor pusat yang belum tentu sesuai dengan keadaan di SBU. Manajemen SBU TSS yang baru kemudian melakukan perubahan dengan menekankan pada perubahan organisasi. Beban Manager Operasi dipecah kepada Manager lainnya, yaitu Manager Pengembangan Produk. Secara rinci Manager Operasi bertanggung jawab terhadap pelaksanaan project dan marketing sedangkan Manager Pengembangan Produk bertanggung jawab terhadap pengembangan produk, persiapan project, serta pengembangan organisasi dan SDM. Pada pelaksanaannya, Manager Pengembangan Produk dibantu seorang staf khusus bagian SDM yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan seleksi, rekrutasi, pembinaan, dan absensi. Adapun keputusan-keputusan strategis seperti remunerasi dan penyelarasan tujuan strategis perusahaan dengan pengembangan SDM masih dilakukan oleh manajer Pengembangan Produk.

Keputusan perbaikan dan pengembangan SDM berupa penambahan staf dan perbaikan organisasi kepegawaian tersebut sejalan dengan pernyataan Mangkuprawira (2003) terkait pengembangan SDM yang harus memperhatikan factor strategis perusahaan. Keputusan merger dan perluasan pasar maka strategi MSDM nya ialah konfigurasi staf baru, akulturasi, pelatihan dan jika diperlukan pemberhentian sementara. Jika perusahaan memutuskan melakukan differensiasi produk maka perubahan MSDM sebaiknya mengarah ke desentralisasi di tingkat local tanpa meninggalkan standar aturan perusahaan yang ada.

Pelaksanaan konfigurasi staf dan akulturasi dilakukan dengan cara membagi tanggung jawab antara manajemen lama dan baru. Jabatan manager Operasi yang membawahi seluruh bidang dipecah menjadi dua jabatan manager, yaitu Manager Operasi dan Pemasaran serta Manager pengembangan Produk. Posisi kedua manager tersebut juga dibagi antara karyawan dari manajemen lama dan manajemen baru.

Perubahan terhadap pengembangan SDM juga terjadi di lini project support. Pekerjaan project support yang pada awalnya dibebankan pada manajemen proyek, kini diubah menjadi dilakukan oleh divisi tersendiri yang dipimpin oleh seorang kepala bagian project support. Penambahan karyawan juga dilakukan untuk menunjang pelaksanaan pekerjaan. Perubahan tersebut pada pelaksanaanya berhasil mengubah beban pekerjaan yang terpusat pada satu orang atau satu divisi menjadi ke beberapa divisi lainnya. Dampak langsung yang terlihat ialah peningkatan revenue SBU dan perluasan pasar.

Perubahan struktur organisasi yang dilakukan tersebut pada dasarnya mengikuti perbaikan internal proses bisnis. Kebutuhan terhadap respon akan pangsa pasar yang cepat dan instan berdampak pada pengembangan sistem yang tidak bergantung pada personal atau perorangan. Kebutuhan terhadap sistem tersebut diakomodir dengan pelapisan personil sehingga ketika ada personil yang tidak ditempat dapat digantikan dengan personil lainnya. Penerapan sistem tersebut tidak hanya dilakukan di lini bawah (pelaksana), tetapi juga pada lini menengah (supervisor dan Kepala bagian) dan lini puncak (manager dan general manager). Perencanaan SDM berperan penting dalam proses penerapan sistem tersebut. Hal tersebut terlihat dari proses rekrutasi yang mengharuskan calon karyawan memiliki kemampuan multi tasking dan siap bekerja dalam tim. Pembinaan pun diarahkan kepada meningkatkan kerjasama tim serta penerapan sistem tersebut.

Perubahan yang dilakukan lainnya adalah penyesuaian job description dan job differentiation. Langkah ini dilakukan sebagai bagian dari perencanaan SDM dan untuk mendukung perubahan internal proses bisnis. Pelaksanaan penyesuaiaan job description dilakukan langsung oleh Pimpinan Puncak, yaitu General Manager, manager pengembangan produk, dan manager operasi. Berdasarkan hasil penyesuaian job description dan job differentiation tersebut, Manager pengembangan produk mengembangkannya menjadi panduan dan arahan pengembangan SDM SBU TSS selanjutnya. Staf SDM selanjutnya akan mendokumentasikan dan mengarsipkan hasil arahan dari manajemen puncak. Selain itu, dilakukan pula sosialisasi bagi karyawan terkait agar tidak ada lagi tumpang tindih pekerjaan dan tanggung jawab.

Pengembangan SDM juga dilanjutkan kepada pengembangan tools untuk control kinerja. Adapun tools yang digunakan saat ini adalah Key Performance Indikator (KPI) untuk menilai kinerja personal dan Project Milestone untuk menilai kinerja pelaksanaan project. Penilaian KPI dilakukan oleh manajemen puncak, yaitu Manager dan general manager yang dilakukan pada akhir tahun. Berdasarkan KPI kinerja personal karyawan akan dapat terukur dengan jelas sehingga hasil dan tujuannya dapat dipertanggung jawabkan. Key Performance Indikator juga akan menjadi bahan penilaian dalam proses kenaikan level atau pengangkatan pegawai tetap.

Project milestone berguna sebagai alat control bagi Manajemen Puncak untuk melihat progress kegiatan dan target masing-masing divisi. Saat ini project milestone baru diterapkan di dua divisi, yaitu pemasaran dan project delivery. Pada awal tahun, masing-masing supervisor membuat milestone target dan tahapan pelaksanaannya. Milestone juga mencantumkan indicator-indikator pencapaian yang diharapkan. Draft milestone kemudian dipresentasikan dan disampaikan kepada Manager untuk dievaluasi dan diperbaiki. Hasil akhir milestone selanjutnya akan dijadikan indicator kinerja dari tim tersebut. Secara berkala, tim juga akan memberikan laporan mingguan dan laporan bulanan untuk memaparkan hasil pencapaian pekerjaan.

Proses pengembangan SDM juga menjadi perhatian khusus oleh Manajemen Puncak. Walaupun saat ini proses pembinaan belum terstruktur secara baik karena umur SBU yang baru 1,5 tahun, tetapi blueprint pengembangan kompetensi sudah dilakukan dengan menetapkan kualifikasi dan keahlian masing-masing pegawai. Pelatihan yang baru dilakukan saat ini berkisar antara pelatihan internal proses bisnis SBU TSS dan PT. X secara keseluruhan. Selain itu dilakukan pula studi banding dan knowledge sharing inter dan antar Departemen, baik di internal PT. X maupun dengan instansi lainnya.

KESIMPULAN

Perencanaan sumberdaya manusia telah menjadi aspek yang tidak dapat dipisahkan dari suatu perkembangan perusahaan menjadi lebih baik. SUmberdaya manusia menjadi penggerak utama dalam bentuk bisnis apapun sehingga kesalahan dalam pelaksanaan perencanaanya dapat berdampak secara signifikan terhadap kinerja peusahaan.

Perubahan yang dilakukan oleh Direksi PT. X terhadap SBU Kelautan, Lingkungan dan Kehutanan (SBU KLK) berupa merger dengan SBU Trade Support Services (SBU TSS) adalah salah satu cara untuk meningkatkan kinerja dan pencapaian revenue. Hasil evaluasi yang dilakukan oleh Divisi Manajemen Risiko dan Internal Manajemen menyatakan bahwa permasalahan utama yang terjadi adalah organisasi pekerjaan yang kurang memadai, tidak jelasnya proses bisnis perusahaan serta tidak sinerginya perencanaan SDM dengan kebijakan strategis perusahaan.

Berdasarkan rekomendasi tersebut, manajemen SBU TSS yang baru melakukan beberapa perubahan diantaranya, memperbaiki struktur organisasi SBU, menambah personil, melakukan penyesuaian job description dan job differentiation, serta mengembangkan metode pengukuran kinerja. Perubahan perencanaan sumberdaya manusia yang disesuaikan rencana strategis perusahaan pada pelaksanaanya berhasil meningkatkan kinerja karyawan dan SBU secara signifikan yang dibuktikan dengan tercapainya target revenue pada bulan ke 8 tahun 2009.

DAFTAR PUSTAKA

Iswanto, Y. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit UT

Nawawi, H. 2005. Perencanaan SDM untuk organisasi yang kompetitif. Gajahmada University Press

Mangkuprawira, Sjafri. 2003. Manajemen Sumberdaya Manusia Strategik. Ghalia Indonesia. Jakarta

KAJIAN PENINGKATAN MOTIVASI KARYAWAN (STUDI KASUS PT. SURVEYOR INDONESIA)

*dibuat sebagai tugas MK. Manajemen Sumberdaya Manusis

Kasus yang diangkat dalam makalah ini adalah kasus peningkatan motivasi pegawai di PT. Surveyor Indonesia khususnya di SBU Kelautan, Lingkungan dan Kehutanan (SBU KLK). Pada akhir tahun 2008, tercatat SBU KLK tidak dapat mencapai target yang diberikan oleh Direksi, yaitu revenue sebesar 20 milyar yang berdampak pada kerugian akibat tidak tertutupinya operasional sebesar 1 milyar. Manajemen PT. Surveyor Indonesia melalui Rapat Pimpinan memutuskan untuk memberikan waktu kepada Kepala SBU satu tahun untuk memperbaiki kinerja SBU KLK. Jika kinerja tidak kunjung membaik maka SBU KLK akan di tutup dan pegawainya dialihkan. Selain itu, Direksi memutuskan SBU KLK di audit oleh Divisi Manajemen Resiko untuk mengetahui akar permasalahan yang terjadi untuk kemudian memberikan solusi dan rekomendasi terhadap permasalahan yang ada

Hasil identifikasi permasalahan oleh Divisi Manajemen Resiko menyebutkan ada beberapa permasalahan utama yang terjadi di SBU KLK, diantaranya : (1) proses bisnis perusahaan yang tidak berjalan dengan baik; (2) motivasi dan kesejahteraan pegawai yang kurang; serta (3) kultur bekerja yang tidak kondusif. Hasil rekomendasi tersebut kemudian disampaikan pada Direksi dan manajemen SBU. Setelah mengkaji permasalahan tersebut, Direksi pun memutuskan untuk melakukan perubahan besar dengan mengganti jajaran manajemen SBU KLK serta melakukan merger dengan SBU lainnya. Nama SBU Kelautan, Lingkungan dan Kehutanan pun dirubah menjadi SBU Trade Support Services (SBU TSS). Dengan manajemen yang baru, perluasan pasar, serta sumberdaya yang berlimpah, SBU TSS diharapkan dapat memberikan kinerja yang lebih baik. Target revenue yang dibebankan juga meningkat dari 20 milyar pada tahun 2008 menjadi 55 milyar pada tahun 2009.

Manajemen SBU TSS yang baru segera melakukan perubahan signifikan berdasarkan hasil audit Divisi Manajemen Resiko. Langkah pertama yang dilakukan ialah mengubah proses bisnis yang digunakan oleh manajemen SBU KLK dimana pada saat itu proses bisnis yang terjadi hanya mengandalkan perorangan sebagai ujung tombak. Fungsional adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap keberhasilan suatu project, mulai dari proses mendapatkan project, maintain klien hingga proses pelaksanaan project. Keadaan tersebut membuat pegawai lain kurang maksimal pekerjaannya karena hampir semua proses bisnis dilakukan oleh Fungsional. Selain itu, ketergantungan terhadap fungsional sangat tinggi sehingga jika fungsional berhalangan hadir atau tidak maksimal dalam kinerjanya, maka keseluruhan pekerjaan SBU juga akan terganggu. Manajemen SBU TSS yang baru kemudian melakukan perubahan dengan cara menghilangkan fungsional dan membagi tugas fungsional kepada pihak lain. Posisi fungsional digantikan oleh Account Executive yang bertanggung jawab terhadap proses pendapatan project, dimana Account Executive akan dibantu oleh Marketing untuk pekerjaan maintain klien dan Product Development untuk pekerjaan pengembangan jasa konsultasi.

Perubahan juga dilakukan dengan meningkatkan kesejahteraan pegawai, khususnya pegawai dengan tingkat kerumitan dan tanggung jawab yang lebih dari lainnya. Contohnya ialah pemberian insentif per bulan khusus bagi Account executive dan insentif komunikasi bagi marketing. Pada pertengahan tahun dan akhir tahun manajemen juga menjanjikan bonus bagi seluruh pegawai serta reward bagi pegawai yang memberikan kontribusi lebih bagi SBU TSS.

Manajemen SBU TSS juga melakukan perubahan dalam kultur bekerja dimana pada masa SBU KLK, proses bekerja lebih bersifat Super Man menjadi Super Team. Perubahan ini menekankan pada pentingnya koordinasi dan kerjasama dalam menjalankan suatu pekerjaan. Pihak yang bekerja seharusnya merupakan satu tim yang solid dan bukan satu orang dengan pihak lain berperan sebagai pembantu umum. Perubahan kultur ini khususnya ditekankan kepada Fungsional yang pada masa SBU KLK banyak berperan sebagai Super Man.

Pembenahan yang dilakukan oleh Manajemen SBU TSS selama kurun waktu 3 bulan berdampak banyak terhadap kinerja SBU secara keseluruhan. Tercatat, pada bulan ke 8 tahun 2009, target revenue yang didapatkan sudah terpenuhi. Walaupun proses pelaksanaan pekerjaan masih berlangsung sehingga keuntungan bersih belum dapat di perkirakan secara detail.

Ada beberapa kejadian pada kasus diatas yang perlu dicermati secara lebih dalam. Permasalahan utama dalam kasus SBU KLK ialah kurangnya motivasi pegawai. Dari permasalahan yang disimpulkan oleh Divisi Manajemen Resiko dapat diketahui bahwa rendahnya motivasi pegawai disebabkan oleh beberapa hal, yaitu : (1) kurang terpenuhinya kesejahteraan pegawai; (2) tidak maksimalnya pemberdayaan seluruh pegawai, dan (3) tidak adanya rangsangan dari manajemen untuk membuat pegawai menjadi lebih baik.

Kesejahteraan adalah permasalahan klasik di dunia kerja yang berdampak paling besar terhadap motivasi pegawai. Banyak teori motivasi yang dikemukakan oleh para ahli menekankan pada permasalahan kesejahteraan. Salah satu yang paling terkenal adalah Abraham H. Maslow. Pendapat yang dikemukakan oleh Maslow ialah bahwa manusia mempunyai tujuh hierarki kebutuhan. Hierarki pertama (1) ialah kebutuhan terhadap fisological (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex; (2) kebutuhan terhadap rasa aman (safety needs), tidak hanya dalam arti fisik tapi juga mental, psikologi, dan intelektual; (3) kebutuhan social (social needs), yaitu kebutuhan untuk menjadi bagian dari kelompok dan menjalin hubungan dengan orang lain; (4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs) yang dapat dilihat dari kebutuhan terhadap symbol-simbol status seperti seseorang harus berprestasi, menjadi kompeten, serta mendapatkan pengakuan sebagai orang yang kompeten dan berprestasi untuk dapat dihargai; (5) kebutuhan intelektual (intellectual needs), yaitu kebutuhan sesorang ketika telah mencapai tingkat intelektual tertentu, yang biasanya berupa kebutuhan terhadap pemahaman dan pengetahuan; (6) kebutuhan estetis (aesthethic needs), yaitu setelah mencapai tingkat intelektual tertentu maka individu akan memikirkan tentang kerapihan, keindahan serta keseimbangan; (7) aktualisasi diri (self actualization), pada tingkatan ini, individu membutuhkan kesempatan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya.

Kesejahteraan pada teori Maslow mengacu salah satunya pada physiological needs dan safety needs. Kedua hal tersebut dapat diwujudkan salah satunya dengan kesehjahteraan yang terjamin. Dengan kesejahateraan, dalam hal ini berkaitan dengan remunerasi, pegawai dapat dengan tenang melakukan pekerjaannya karena kebutuhan terhadap kedua hal tersebut sudah terpenuhi sehingga focus utama pegawai ialah memberikan kinerja yang lebih baik bagi perusahaan. Keadaan ini pada akhirnya akan memberikan feedback bagi perusahaan berupa keuntungan dan kinerja pegawai yang lebih baik.

Permasalahan motivasi lainnya juga dapat diterangkan oleh beberapa teori Motivasi lainnya yang merupakan turunan dari teori Maslom, yaitu Teori Ekspektasi (Expectacy Theory) oleh Victor Vroom. Motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.

Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.

Tidak adanya pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas dan merata pada masa SBU KLK menjadikan hanya Fungsional yang merasa dibutuhkan dan harus bekerja keras melebihi pegawai lain. Dalam keadaan tertentu, hal tersebut dapat menjadikan kecemburuan social serta rendahnya tanggung jawab dan kepemilikan terhadap perusahaan. Pegawai lain yang tidak merasa terlalu dibutuhkan akan menurun motivasinya untuk memberikan kinerja yang lebih baik. Di sisi lain, Fungsional yang merasa keberadaannya merupakan pusat dari kegiatan bisnis perusahaan akan mengalami tekanan yang terlalu berlebih terhadap kesuksesan perusahaan yang pada akhirnya jika tidak ditangani dengan baik akan menjadi kontra produktif.

Sebagai solusi permasalah ini, manajemen SBU TSS melakukan pembagian dan standardisasi tugas. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan pegawai kejelasan mengenai tanggung jawab dan peranannya dalam proses bisnis. Pembagian tugas juga akan menjadikan masing-masing pegawai lebih termotivasi untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan lebih baik. Kebijkan reward and punishment juga diterapkan untuk memberikan asas keadilan dan merangsang kinerja pegawai.

Dengan pembagian tugas yang dilakukan oleh manajemen SBU TSS, seluruh pegawai mendapatkan porsi yang sesuai walaupun tetap ada beberapa pihak yang memiliki tanggung jawab yang lebih dibandingkan pihak lain. Sebagai kompensasi terhadap tanggung jawab tersebut, pegawai akan mendapatkan insentif dan fasilitas khusus. Kebijakan ini sesuai dengan salah satu frasa terkenal, “great power comes with great responsibilities

PENGARUH SISTEM OUTSOURCING TERHADAP KINERJA KARYAWAN (STUDI KASUS PT. MAYORA Tbk.)

* dibuat sebagai Tugas MK. Etika Bisnis di Kuliah S2

Pekerja Outsourcing Tuntut PT Platinum Sinar Inti
Radar Banten, Jumat, 19-Juni-2009

CIKUPA - Sistem outsourcing yang dijalankan sejumlah perusahaan pemasok tenaga kerja terus menjadi sorotan. Sejumlah tenaga kerja kontrak yang bekerja di PT Mayora Tbk mengaku merasa dirugikan oleh perusahaan outsourcing yang mengirim mereka.
Mereka menyatakan akan menuntut PT Platinum Sinar Inti yang dinilai telah merugikan dan mempermainkan para tenaga kerja. PT Platinum Sinar Inti adalah salah satu perusahaan outsourcing yang kantornya terletak di pertokoan Cikupa, Kabupaten Tangerang. Kantornya menjadi satu dengan kantor perusahaan outsourcing lainnya, yakni PT Gading Megah Perkasa.
Para tenaga kerja yang mengaku dirugikan dan dipermainkan PT Platinum Sinar Inti ini menyampaikan pernyataan tertulisnya, tertanggal 9 Juni 2009 lalu. Dalam surat pernyataan yang ditandatangani tujuh perwakilan tenaga kerja itu, para karyawan menyampaikan permasalahan selama menjadi karyawan kontrak PT Platinum Sinar Inti. Surat pernyataan itu rencananya akan disampaikan kepada sejumlah instansi terkait.
Pengakuan salah satu karyawan berinisial TH, para karyawan PT Mayora yang dipasok dari PT Platinum Sinar Inti dirugikan dengan tidak sesuainya masa kerja seperti dijanjikan semula. Awalnya para karyawan dipungut biaya sebesar Rp 600 ribu saat diterima kerja. Para tenaga kerja ini dijanjikan bekerja selama enam bulan terhitung sejak hari pertama masuk kerja di PT Mayora. Tapi pada kenyataannya, baru dua minggu bekerja, dia tiba-tiba diberhentikan secara sepihak tanpa ada penjelasan terlebih dahulu.

Malahan ada yang baru satu minggu bekerja, tiba-tiba diberhentikan,” kata TH.

Selain merasa dibohongi, para tenaga kerja juga mengaku dirugikan dengan adanya pemotongan upah setiap bulannya. Setiap kali pembayaran upah, PT Platinum Sinar Inti memotong upah para karyawan sebesar Rp 100 ribu. Menurut para karyawan, upah yang mereka terima memang dibayarkan melalui PT Platinum Sinar Inti. Dalam slip gaji yang dikeluarkan PT Platinum Sinar Inti, itu gaji pokok mereka hanya berkisar antara Rp603 ribu - Rp675 ribu. Menurut karyawan, kondisi ini sudah berlangsung lama tanpa adanya pengawasan dari aparat terkait. “Pemotongan upah setiap bulannya itu tidak pernah ada perinciannya secara tertulis pada lembaran slip gaji kami,” kata TH.

Dikonfirmasi terpisah, Direktur PT Platinum Sinar Inti M Panjaitan membantah jika perusahaannya memberhentikan karyawan yang telah bekerja secara sepihak dan melakukan pemotongan upah. Menurut Panjaitan, setelah tenaga kerja yang dipasoknya bekerja di salah satu perusahaan, sudah menjadi kewenangan penuh perusahaan.

Biasanya pemberhentian itu karena tidak ada produksi, sehingga para karyawan di off dulu untuk sementara waktu. Kalau sudah ada kerjaan lagi, pasti dipanggil kembali,” kata Panjaitan, Kamis (18/6).

Sedangkan untuk masa kerja para karyawan, lanjut Panjaitan, itu tergantung dari kebijakan perusahaan tempat mereka bekerja. Pihaknya menjalin kontrak dengan PT Mayora selama satu tahun. “Tapi untuk kontrak karyawan, itu tergantung perusahaan,” katanya. (bha)


Ulasan Kasus

Pengaruh Outsoucing terhadap Kinerja Karyawan.

Pengaruh globalisasi yang mengidolakan instanisasi menyebabkan adanya perubahan pola hubungan kerja. Baik dari sisi pekerja atau pengusaha. Desakan persaingan global membuat perusahaan menambah metabolismenya, sehingga hak pekerja dipertanyakan keseriusannya. Hal ini turut mendorong maraknya system outsourcing.

Outsourcing sendiri secara harfiah berasal dari kata “out” yang berarti keluar dan “source” yang berarti sumber. Dari pengertian tersebut, maka dapat ditarik suatu definisi operasional mengenai outsourcing yaitu ; suatu bentuk perjanjian kerja sama antara perusahaan A sebagai pengguna jasa dengan perusahaan B sebagai penyedia jasa, dimana perusahaan A meminta kepada perusahaan B untuk menyediakan tenaga kerja yang diperlukan untuk bekerja di perusahaan A dengan membayar sejumlah uang, namun upah atau gaji tetap dibayarkan oleh perusahaan B kepada tenga kerja yang disuplay. Tenaga kerja inilah yang disebut dengan pekerja outsourcing.

Istilah outsourcing mulai ramai diperdebatkan di Indonesia, pasca diterbitkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan, dimana aturan tersebut ditengarai sebagai palang pintu lahirnya sistem kerja outsourcing yang sekarang dipraktekkan dimana-mana. Sebenarnya, didalam undang-undang ini, tidaklah mengenal penyebutan istilah outsourcing. Pengertian dari outsourcing itu sendiri dapat dilihat dalam beberapa ketentuan. Salah satunya adalah yang tertuang dalam pasal 64 Undang-undang ketengakerjaan ini, yang isinya menyatakan bahwa outsourcing merupakan suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.

Sementara dalam konteks hukum, pada pasal 1601 b KUH-Perdata, outsoucing disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan. Sehingga pengertian outsourcing secara tersirat dapat diartikan sebagai sebuah perjanjian, dimana pemborong mengikat diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu.

Pekerjaan disub-kontrakkan (outsourcing) melahirkan persoalan, pada kenyataan sehari-hari outsourcing selama ini diakui lebih banyak merugikan pekerja/buruh, karena hubungan kerja selalu dalam bentuk tidak tetap/kontrak (PKWT), upah lebih rendah, jaminan sosial kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security serta tidak adanya jaminan pengembangan karir dan lain-lain sehingga memang benar kalau dalam keadaan seperti itu dikatakan praktek outsourcing akan menyengsarakan pekerja/buruh dan membuat kaburnya hubungan industrial.

Sejumlah tesis yang mendukung sistem outsourcing selalu mengkaitkannya dengan perkembangan global dewasa ini. Bahwa di era globalisasi, sangat sulit untuk menghambat pergerakan arus modal yang begitu cepat dari suatu negara ke negara lain, dari suatu daerah ke daerah lain. Oleh karenanya, maka seluruh infra struktur hukum, sosial, ekonomi harus memberi kemudahan bagi laju pergerakan modal. Namun paradigma ini telah menempatkan modal menjadi segalanya. Manusia seakan diharuskan mengabdi kepada kekuatan modal. Akibatnya, modal bukan saja menjadi liar dan lepas dari nilai-nilai moral kemanusiaan, juga melahirkan kesenjangan yang semakin menganga antara pemilik modal dan pekerja/buruh, antara yang kaya dan miskin serta antara negara maju dan negara yang sedang berkembang.

Selain itu, Praktek outsourcing dinilai mampu menyerap lapangan kerja dan mengatasi pengangguran berdasarkan asumsi bahwa jika pola system kerja outsourcing yang diterapkan, maka secara langsung membuka kesempatan bagi siapa saja untuk berkompetisi. Bahkan bagi mereka yang sebelumnya berada pada sektor informal, dapat terseret kedalam sector formal yang lebih terproteksi dan menjanjikan. Namun, timbul permasalahan terhadap pola adaptasi kerja yang merupakan salah satu kelemahan system kerja outsourcing ini. Harapan untuk meningkatkan kinerja dan keuntungan perusahaan, justru akan menjadi boomerang dikemudian hari. Misalnya saja seorang pekerja tekstil dengan status outsourcing, tentu akan menjadi gagap ketika harus dengan tiba-tiba disalurkan keperusahaan pertambangan atau alat berat. Pola ini justru akan berakibat kontra-produktif terhadap kinerja perusahaan.

Outsourcing juga dianggap akan lebih mampu menyerap tenaga kerja tanpa diskriminasi. Alasan ini lebih kepada mengugat pola praktek perusahaan keluarga (closed corporation) yang lebih mengukur serapan tenaga kerja suatu perusahaan berdasarkan garis keturunan dan hubungan kekeluargaan yang menghalangi perusahaan untuk memenuhi mekanisme pasar. Dengan praktek outsourcing, tradisi yang sudah usang ini akan secara otomatis terkikis. Secara prinsip, outsourcing akan lebih membuka persaingan tenaga kerja yang lebih kompetitif sesuai dengan kehendak dan kebutuhan pasar tenaga kerja.

Namun, Hampir semua elemen gerakan serikat buruh dengan tegas menyatakan penolakannya terhadap outsourcing. Ada banyak alasan yang mengemuka atas penolakan tersebut yang kesemuanya bermuara pada tidak adanya perlindungan yang bersifat mendasar terhadap hak-hak pekerja di tempat kerja serta keadilan dan kesejahteraan yang semakin jauh dari kehidupan pekerja.

Pertama, sistem kerja outsourcing membuat status hubungan kerja buruh menjadi tidak jelas. jika seseorang bekerja pada perusahaan A (second company), dimana sebelumnya disalurkan oleh perusahaan B (parent company), maka ketika terjadi pelaggaran hak-hak normatif (upah dibayar lebih rendah dari UMP/UMK, jam kerja yang berlebihan, lembur yang tidak dibayar, tunjangan hari raya yang tidak diberikan, pelarangan cuti, PHK, dll), sulit untuk memproses hal hal tersebut. Bahkan kerap terjadi, baik perusahaan A maupun perusahaan B, saling lempar tanggung jawab terhadap tuntutan yang diinginkan.

Kedua, outsourcing berakibatkan kepada semakin lemahnya posisi buruh dalam perusahaan. Hal tersebut dilatar belakangi oleh status hubungan kerja yang sifatnya sementara dengan masa kerja yang ditetapkan selama kurung waktu tertentu (1 tahun, 2 tahun, bahkan ada yang hanya berkisar 3-4 bulan). Hal ini berakibat semakin kuatnya posisi pengusaha jika berhadapan dengan pekerja, sehingga memberikan ruang yang sangat besar bagi pengusaha tersebut untuk menindas buruh dalam perusahaannya. Pengusaha dapat dengan sewenang-wenang memberhentikan buruh (PHK) sesuai dengan kemauannya. Ketakutan berserikat, berkumpul, menuntu perbaikan, serta menyatakan pendapat-pun menjadi terbatasi akibat posisi tawar buruh yang lemah ini, ditambah ancaman PHK yang sewaktu-waktu dapat dilakukan oleh pengusaha.

Ketiga, outsourcing akan menghilangkan hak serta jaminan masa depan buruh. Sederhananya, tidak adanya jaminan biaya hidup yang harus dihadirkan oleh perusahaan jika suatu saat nanti buruh sudah tidak memiliki produkstivitas kerja yang baik dan maksimal akibat factor fisik (pension), dan atau penghargaan kerja yang menjadi kewajiban pengusaha akibat terputusnya hubungan kerja (PHK).

Keempat, outsourcing mempraktekkan dehumanisasi atau pengingkaran hak dasar seseorang layaknya manusia yang bebas dan merdeka. System kerja outsourcing ini sama sekali tidak menghargai buruh layaknya sebagai seorang manusia. Sebab, outsourcing tidak lebih dari bentuk perdagangan manusia kepada manusia lainnya (trafficking). Dimana buruh tak ubahnya seperti barang yang diperjual belikan oleh pengusaha.

Kelima, outsourcing akan mengakibatkan tingkat pengangguran yang semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh syarat kerja outsourcing yang menekankan keterampilan kerja (labour skill) yang kompetitif, sementara kondisi buruh di Indonesia sama sekali belum memadai untuk memiliki keterampilan multi-bidang. Misalnya saja seorang buruh disektor informal yang tiba-tiba harus diserap oleh sector formal, maka akan menjadi kontra-produktif akibat adaptasi yang membutuhkan waktu yang lama.

Keenam, outsourcing akan semakin meminimalisir fungsi dan peran serikat (worker’s organization) dalam perusahaan, bahkan akan dihilangkan sama sekali jika perusahaan menghendakinya. Hal tersebut dikarenakan hubungan kerja kita dalam perusahaan akan lebih bersifat individu, antara pekerja dengan pengusaha. Dengan demikian upaya perjuangan hak dan kepentingan kita melalui serikat, akan semakin terbatasi secara langsung, terlebih ketika ancaman PHK oleh perusahaan semakin mudah dilakukan setiap saat akibat posisi tawar yang lemah tersebut.

Pada prinsipnya, pekerjaan yang di-outsource adalah memang bukan pekerjaan inti dari perusahaan. Awalnya, karena dianggap bukan sebagai pekerjaan inti, maka seharusnya pekerjaan tersebut tdak rutin ada dalam perusahaan. Namun kemudian berkembang konsep, bahwa pekerjaan outsource mungkin saja akan terus ada sebab pekerjaan outsource tidak sama dengan pekerjaan project yang memiliki batas waktu.Sementara itu, peraturan pemerintah dengan batas perpanjangan waktu masih mendukung konsep lama.

Jenis Pekerjaan Masih akan terus menjadi perdebatan dan akan tetap sulit dilakukan dalam mendefinisikan secara tegas apakah suatu pekerjaan yang dilakukan oleh seorang pekerja termasuk dalam kategori kegiatan pokok (core business) atau kegiatan penunjang. UUK No. 13/2003 itu sendiri hanya memberikan sedikit penjelasan tentang kegiatan penunjang tapi tidak memberikan penjelasan yang komprehensif tentang apa yang dimaksud dengan kegiatan pokok.

Kendati UU No. 13 mengisyaratkan agar syarat perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh yang dioutsourcing sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi kerja atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah hal yang sangat sulit untuk diwujudkan. Kalangan pengusaha melakukan pola hubungan kerja seperti itu justru dengan pertimbangan bahwa biayanya lebih murah dan resikonya lebih ringan.

Harus diakui bahwa untuk jenis pekerjaan yang bersifat sementara (temporary job) memang tidak mungkin dilakukan dengan mengangkat seorang pegawai tetap. Tinggal bagaimana membuat aturan yang jelas dan ketat tentang jenis-jenis pekerjaan yang bersifat sementara serta jangka waktu paling lama untuk menjalin hubungan kerja yang bersifat kontrak tersebut. Juga perubahan status dari karyawan kontrak menjadi karyawan tetap serta syarat-syarat kerja karyawan kontrak yang tidak boleh kurang dari yang diberlakukan terhadap karyawan tetap.


ETIKA DAN KOMUNIKASI KERJA DALAM PERUSAHAAN : STUDI KASUS MANAJEMEN PROYEK VERIFIKASI EKSPOR SBU TRADE SUPPORT SERVICES PT. X


ABSTRAK

Komunikasi dan etika bisnis merupakan permasalahan yang jamak terjadi dalam interaksi organisasi. Keduanya menjadi hal yang krusial dalam internal perusahaan karena berdampak secara langsung terhadap kenyamanan dan kinerja karyawan. Dilihat dari aspek eksternal, komunikasi dan etika bisnis sangat menentukan dalam membangun image perusahaan, khusunya industry yang erat kaitannya dengan jasa

Permasalahan komunikasi umumnya terjadi karena tidak adanya proses komunikasi yang efektif sedangkan permasalahan etika terjadi karena personal perorangan atau budaya lingkungan sekitar seperti perusahaan, wilayah, dan negara.

Kasus yang dibahas dalam makalah ini adalah proses interaksi komunikasi dan etika bisnis di salah satu Manajemen Proyek PT. X, yaitu Manajemen Proyek Verifikasi Ekspor (MPVE). Proses komunikasi yang buruk antara Direksi, W sebagai calon Kepala Proyek MPVE, Y dan H sebagai Kepala Proyek MPVE terpilih menunjukkan contoh dari penerapan komunikasi dan etika bisnis yang buruk.

Dampak langsung dari tidak berjalannya komunikasi dan etika bisnis yang baik dalam MPVE menyebabkan menurunnya kinerja MPVE sebagai salah satu kegiatan andalan PT. X

Kata kunci : Komunikasi, etika, PT. X,

ABSTRACT

Communication and business ethics are common problems occurred during the interaction of the organization. Both became crucial in internal organization as a direct impact on comfort and employee performance. Viewed from the external aspects, communication and ethics business is crucial in building the company image, especially in service based industry. Communication problems generally occur due to the lack of effective communication and the ethical problems occur because personal individual or cultural environment such as a company, region, and country.

Cases discussed in this paper is the process of communication interaction and business ethics at one of Project Management PT. Surveyor Indonesia, Project Management of Export Verification (MPVE). Bad communication process between the Board of Directors, W as a candidate for head of Project MPVE, Y and H as Chief Project selected MPVE, shows examples of the application of bad communication and business ethics. The immediate impact of no communication and operation of business ethics both in MPVE cause decreased performance as one of MPVE mainstay activity of PT. Surveyor Indonesia

Keyword : communication, ethics, PT. X

BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
“Komunikasi akan Efektif apabila terjadi pemahaman yang sama dan merangsang pihak lain untuk berpikir atau melakukan sesuatu”. Penggalan kalimat tersebut dapat memberikan gambaran bagi tiap pelaku bisnis pentingnya sebuah komunikasi. Tanpa proses komunikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat memberikan hal-hal baru, berupa percepatan proses bisnis, terselesaikannya pekerjaan hingga terbukanya peluang baru.

Seringkali proses komunikasi menjadi hal yang terlupakan oleh tiap level dalam suatu organisasi atau perusahaan. Atasan yang mendikte, bawahan yang tidak mau bertanya atau marketing yang tidak menyerap keinginan klien. Secara massif proses komunikasi menjadi suatu kegiatan yang tidak dapat ditinggalkan dalam proses interaksi apapun. Tanpa komunikasi yang baik, pekerjaan akan terhambat, tidak sesuai dengan permintaan maupun level yang lebih parah, tidak ada pekerjaan sama sekali.

Permasalahan komunikasi juga umumnya terjadi karena tidak adanya proses komunikasi yang efektif. Beberapa faktor yang mempengaruhi efektifitas komunikasi diantaranya adalah (1) Kredibilitas dan daya tarik komunikator,(2) Kemampuan pesan untuk membangkitkan tanggapan, (3) Kemampuan komunikan untuk menerima dan memahami pesan.

Selain proses komunikasi, hal penting lainnya dalam proses bisnis internal perusahaan adalah etika bisnis. Secara umum etika bisnis di perusahaan dapat dibagi menjadi dua bagian umum, yaitu etika bisnis di internal dan eksternal. Etika bisnis internal merupakan sikap dan tata cara bersikap dalam mengahadapi rekan kerja dalam satu lingkup organisasi sedangkan etika bisnis eksternal lebih menekankan pada hubungan dengan rekan kerja berbeda organisasi atau perusahaan.

Etika dapat diartikan sebagai falsafah moral sebagai pedoman cara hidup yang benar dilihat dari sisi pandang agama, norma sosial dan budaya. Etika bisnis dalam suatu perusahaan dapat berupa beberapa hal, seperti penampilan karyawan yang santun dan rapi; memberikan layanan yang baik bagi pelanggan; dan taat asas dalam bernegoisasi. Dampak penerapan etika yang baik terlihat pada tata cara berinteraksi karyawan atau anggota organisasi antara sesamanya (internal) dan interaksi antara klien atau pelanggan (eksternal)

Kedua aspek tersebut memegang peranan penting dalam proses bisnis perusahaan. Komunikasi yang efektif memberikan solusi dan peluang bagi perusahaan sedangkan etika bisnis yang baik memberikan image yang baik pula bagi perusahaan. Berikut ini akan disajikan studi kasus penerapan etika dan komunikasi yang baik di PT. X sebagai salah satu perusahaan BUMN dengan basis pekerjaan jasa dan konsultasi, khususnya bidang inspeksi dan verifikasi

1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menganalisis penerapan proses komunikasi dan penerapan etika bisnis di PT. X

BAB II. KERANGKA PEMIKIRAN

2.1.Landasan Teori

2.1.1.Etika dan Moralitas

Moralitas

Moralitas adalah pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa itu benar dan salah, atau baik dan jahat. Pedoman moral mencakup norma-norma yang kita miliki mengenai jenis-jenis tindakan yang kita yakini benar atau salah secara moral, dan nilai-nilai yang kita terapkan pada objek-objek yang kita yakini secara moral baik atau secara moral buruk. Norma moral seperti “selalu katakan kebenaran”, “membunuh orang tak berdosa itu salah”. Nilai-nilai moral biasanya diekspresikan sebagai pernyataan yang mendeskripsikan objek-objek atau ciri-ciri objek yang bernilai, semacam “kejujuran itu baik” dan “ketidakadilan itu buruk”. Standar moral pertama kali terserap ketika masa kanak-kanak dari keluarga, teman, pengaruh kemasyarakatan seperti gereja, sekolah, televisi, majalah, music dan perkumpulan.

Etika

Menurut kamus, istilah etika memiliki beragam makna berbeda. Salah satu maknanya adalah “prinsip tingkah laku yang mengatur individu dan kelompok”. Makna kedua menurut kamus etika adalah “kajian moralitas”. Akan tetapi meskipun etika berkaitan dengan moralitas, namun tidak sama persis dengan moralitas. Etika adalah semacam penelaahan, baik aktivitas penelaahan maupun hasil penelaahan itu sendiri, sedangkan moralitas merupakan subjek.

Etika merupakan ilmu yang mendalami standar moral perorangan dan standar moral masyarakat. Ia mempertanyakan bagaimana standar-standar diaplikasikan dalam kehidupan kita dan apakah standar itu masuk akal atau tidak masuk akal – standar, yaitu apakah didukung dengan penalaran yang bagus atau jelek. Etika merupakan penelaahan standar moral, proses pemeriksaan standar moral orang atau masyarakat untuk menentukan apakah standar tersebut masuk akal atau tidak untuk diterapkan dalam situasi dan permasalahan konkrit.

Tujuan akhir standar moral adalah mengembangkan bangunan standar moral yang kita rasa masuk akal untuk dianut. Etika merupakan studi standar moral yang tujuan eksplisitnya adalah menentukan standar yang benar atau yang didukung oleh penalaran yang baik, dan dengan demikian etika mencoba mencapai kesimpulan tentang moral yang benar benar dan salah, dan moral yang baik dan jahat (Berteens, 2000)

Etika Bisnis

Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis. Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam system dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi (Siagiaan, 1996)

Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia, dan prinsip-prinsip ini sangat erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat.

Sonny Keraf (1998) menjelaskan, bahwa prinsip etika bisnis sebagai berikut;

  • Prinsip otonomi; adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan.

  • Prinsip kejujuran. Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara jelas bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan atas kejujuran. Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan harga yang sebanding. Ketiga, jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan.

  • Prinsip keadilan; menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai kriteria yang rasional obyektif, serta dapat dipertanggung jawabkan.

  • Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle) ; menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak.

  • Prinsip integritas moral; terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik pimpinan atau karyawan maupun perusahaannya.




2.1.2 Komunikasi

Definisi

Carl I. Hovland dalam Hadi (2007) mendefinisikan komunikasi dalam sebagai upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegar asas-asas penyampaian serta pembentukan pendapat dan sikap. Obyek studi ilmu komunikasi bukan saja penyampaian informasi, melainkan juga pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude).

Dalam definisi yang lain disebutkan komunikasi sebagai sesuatu hal dasar yang selalu dibutuhkan dan dilakukan oleh setiap insan manusia, karena berkomunikasi merupakan dasar interaksi antar manusia untuk memperoleh kesepakatan dan kesepahaman yang dibangun untuk mencapai suatu tujuan yang maksimal diantara kedua nya. Untuk mencapai usaha dalam berkomunikasi secara efektif, maka sebaiknya kita harus mengetahui sejumlah pemahaman dan persoalan yang terjadi dalam proses berkomunikasi itu sendiri.

Proses Komunikasi

Secara umum proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yaitu primer dan sekunder

Proses Komunikasi secara primer

Proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang [symbol] sebagai media, bahasa, kial (gesture), isyarat, gambar, warna, dan sebagainya. Aspek yang paling banyak digunakan adalah bahasa, karena mampu menterjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain berupa ide, informasi atau opini. Bahasa memegang peranan paling penting dalam proses komunikasi primer. Aspek yang paling penting dalam bahasa adalah pemilihan kata. Kata-kata mengandung dua jenis pengertian :

Denotatif, arti sebagaimana tercantum dalam kamus (dictionary meaning)

Konotatif, arti emosional atau mengandung penilaian tertentu atau kiasan (emotional or evaluate meaning)

Proses Komunikasi Secara Sekunder

Proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Komunikasi sekunder dapat berupa, surat, telepon, fax, koran, majalah, radio, TV, film, e-mail, internet, dan sebagainya. Perkembangan budaya masyarakat yang sangat cepat telah membawa perubahan pada metode komunikasi. Saat ini media sekunder banyak digunakan sebagai media utama dalam melakukan komunikasi yang efektif bagi massa secara luas. Contohnya adalah penggunaan internet dalam kampanye Obama dan Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pemili. Kasus Prita Mulyasari juga menjadi streotipe yang sangat baik tentang bagaimana implikasi media dalam hal ini internet terhadap pengembangan image suatu perusahaan. RS Omni Internasional tercatat mengalami penurunan pelanggan akibat pemberitaan dan dukungan terhadap Prita Mulyasari.

Komunikasi Organisasi

Komunikasi Organisasi dapat didefinisikan sebagai pertunjukkan dan penafsiran pesan di antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian suatu organisasi tertentu. Suatu organisasi terdiri dari dari unit-unit komunikasi dalam hubungan hierarkis antara yang satu dengan lainnya dan berfungsi dalam suatu lingkungan. Gambar di bawah ini melukiskan konsep suatu sistem komunikasi organisasi.

Garis yang putus putus melukiskan gagasan bahwa hubungan-hubungan ditentukan secara alami; hubungan hubungan itu juga menunjukkan bahwa struktur suatu organisasi bersifat luwes dan mungkin berubah sebagai respons terhadap kekuatan-kekuatan lingkungan yang internal dan eksternal.

Komunikasi organisasi terjadi kapan pun, setidak-tidaknya satu orang yang menduduki suatu jabatan dalam suatu organisasi menafsirkan suatu pertunjukkan.Fokus komunikasi organisasi adalah komunikasi di antara anggota-anggota suatu organisasi.

2.3 Kasus di PT. X

Sebagai perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memiliki banyak divisi-divisi supporting, Strategic Business Unit (SBU), cabang-cabang, serta anak perusahaan, PT. X (PT. X) memiliki kejamakan ataupun keragaman di dalam hal interaksi internal maupun eksternal, ditambah lagi basis-basis pendapatan PT. X banyak didapatkan dari project-project yang dikerjakannya, sehingga semakin besarlah cakupan yang harus dilakukan oleh PT. X di dalam mengatur proses interaksi di dalam organisasinya. Hal tersebut disebabkan karena setiap project memiliki karakter-karakter yang berbeda-beda, dan apabila project tersebut tidak berlangsung dalam jangka waktu yang lama, banyak personil-personil baru yang diambil dari eksternal (pegawai kontrak dan outsourcing) dikombinasikan dengan pegawai-pegawai lama dan berpengalaman yang berada di PT. X.

Sebagai pelaksana teknis di tingkat dasar, dibentuklah suatu manajemen proyek (MP) dengan tujuan memfokuskan pelaksanaan pekerjaan. Salah satu manajemen Proyek yang akan dibahas dalam makalah ini adalah Manajemen Projek Verifikasi Ekspor atau yang biasa dikenal dan disingkat di PT. X sebagai MP-VE. MP-VE sendiri berdiri di bawah naungan Strategic Business Unit Trade Support Services (SBU TSS), SBU TSS merupakan SBU yang baru hasil peleburan dari SBU Trade Finance and Services sebelumnya. Pada SBU ini, MP-VE merupakan salah satu projek yang diandalkan bukan hanya oleh SBU sendiri tetapi oleh korporat secara umumnya, dikarenakan MPVE merupakan projek long term atau jangka panjang dan projek yang memiliki potensi paling besar dalam menyumbangkan pendapatannya bagi korporat setiap tahun. Bahkan tidak tertutup kemungkinan untuk terus mengembangkan pendapatannya setiap tahun.

MP-VE berdiri pada awal tahun 2007, setelah PT. X ditunjuk oleh pemerintah Indonesia melalui Departemen Perdagangan (Depdag) untuk melakukan verifikasi terhadap produk-produk tertentu sebelum diekspor, adapun produk-produk tertentu itu antara lain produk pertambangan yang tergolong pada bahan galian golongan C seperti marmer, granit, kaolin, batu apung, dan lain-lain. Selain itu PT. X juga ditunjuk oleh pemerintah untuk memverifikasi produk-produk kimia berbahaya sebelum diekspor, yang biasa disebut dengan Prekursor, yang terakhir masih di dalam waktu yang sama sekitar bulan Februari tahun 2007 tersebut, PT. X juga dipercaya untuk melakukan pemeriksaan/verifikasi terhadap produk timah batangan sebelum diekspor.

Pada awal didirikannya struktur organisasi MP-VE seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.1, dipimpin oleh seorang Kepala MP yang membawahi 3 manajer yaitu manajer marketing, manajer operasi, dan manajer adum / keuangan. Dan di dalam pelaksanaan pekerjaannya dibantu oleh Koordinator Quality Control (QC) dan Quality Assurance (QA) serta Administrasi Operasi (Adops). Untuk pekerjaan-pekerjaan di lapangan ataupun di daerah, masing-masing daerah dipimpin oleh seorang koordinator wilayah yang membawahi wilayah yang dicover olehnya.

Manajer operasi memiliki kekuasaan yang sangat kuat di dalam melaksanakan tugas-tugasnya, dan boleh dibilang secara tidak langsung adalah vice president daripada Kepala MP. Dan kebetulan, Kepala MP pada saat itu yaitu Y memberikan mandat yang cukup besar kepada W sebagai kepala/manajer operasi sekaligus melaksanakan tugas harian Kepala MP. Karena memang pada saat itu oleh Direksi sebenarnya yang ingin diangkat adalah W, tetapi dikarenakan berbagai macam pertimbangan Direksi akhirnya mengangkat Y sebagai kepala MP. Namun hal ini menimbulkan dillema, karena Y juga merangkap jabatan sebagai kepala sektor perdagangan saat itu, pada saat masih tergabung dalam SBU TFS. Sehingga hal tersebut membuat dia melampiaskan tugas kesehariannya kepada W.

Tetapi disini timbul pertanyaan dan masalah, dikarenakan jabatan yang dirangkap oleh Y tersebut, W memanfaatkan momentum tersebut untuk membuat move-move yang tidak sehat terkait kinerja MP-VE, ini terkait karena dia merasa ada persaingan dengan Y, yang harusnya dia diangkat menjadi kepala MP tetapi hanya menjadi manajer operasi. Hal tersebut menjadikan internal organization dalam MP-VE menjadi kurang sehat. Namun seiring berjalannya waktu, dengan dileburnya SBU TFS menjadi SBU TSS dan SBU ISS, maka Y terpilih menjadi General Manager untuk SBU TSS, yang mau tidak mau dia harus memberikan jabatan Kepala MP-VE kepada orang lain, dikarenakan tidak memungkinkannya lagi rangkap jabatan yang dilakukannya. Tetapi terlihat suksesi ini agak dipaksakan, karena sepanjang W menjadi manajer operasi, memang dia mengunci pekerjaan MP-VE menjadi sangat tertutup dan sulit dimasuki oleh pihak diluar dari organisasi tersebut.

Direksi dalam perjalanannya mengambil keputusan untuk tidak mengangkat W menjadi kepala MP, dan kemudian lebih memilih seseorang dari luar MP-VE untuk menjadi Kepalanya yaitu bekas Kepala Cabang PT. X di Pekanbaru, H. Dan kemudian Direksi membuat satu jabatan baru di atas Kepala MP yaitu Steering Commitee (SC), yang diduduki oleh Y dan W. Namun, dalam pelaksanaannya W tetap saja tidak puas karena jabatan tersebut dianggapnya hambar, karena tidak memiliki power di dalam pekerjaan keseharian MP-VE, hanya dianggap sebagai dewan penasihat saja. Kemudian dengan politiknya di kantor, dia membuat move-move terhadap Kepala MP yang baru dengan mosi-mosi tidak percaya, mempengaruhi anggota lainnya, serta cenderung “menggerecoki” ataupun merusak tatanan yang sudah ada, karena memang seperti yang telah dikatakan sebelumnya, pada saat menjadi kepala operasi dia melakukan kegiatan-kegiatan tertutup ataupun “mengunci” kepada pihak luar, sehingga yang banyak mengetahui MP-VE hanyalah dia.

Hal tersebut membuat kepala MP yang baru menjadi geram dan tidak kerasan ataupun tidak betah pada posisinya saat itu, dan memang hal tersebut yang diharapkan oleh W terjadi kepada H. Dan akhirnya, H mengundurkan diri sebagai kepala MP-VE disamping dia terpilih menjadi ketua serikat pekerja di PT. X, dan seperti yang bisa diduga sebelumnya, W akhirnya diangkat menjadi kepala MP-VE, dikarenakan tidak adanya lagi pilihan bagi Direksi. Hal ini menjadikan banyak kejadian-kejadian yang tidak sehat di dalam organisasi yang dipimpinnya itu. Hingga saat ini organisasi MP-VE dianggap lama perkembangannya di dalam mengembangkan jaringan market dan bisnisnya, tidak seperti yang direncanakan sebelumnya, padahal MP-VE sebagai sebuah Project Management memiliki potensi di dalam mengembangkan pasarnya serta pendapatan bagi PT. X.

BAB III. ULASAN TEMUAN

Terdapat beberapa permasalahan penting dalam proses komunikasi di internal perusahaan. Permasalahan pertama adalah kurangnya proses komunikasi dari Direksi terhadap W selaku pihak yang paling mengerti dan merasa paling cocok untuk posisi Kepala MPVE. Direksi dalam pertimbangannya memandang W belum memiliki kompetensi yang dibutuhkan sebagai seorang Kepala MPVE karena beberapa hal sehingga dalam perjalanannya, Direksi menunjuk W dan H sebagai Kepala MPVE.

Permasalahan terjadi karena Direksi tidak menjelaskan secara jelas kompetensi dan persyaratan yang diperlukan bagi karyawan yang menduduki jabatan Kepala MPVE. Ketidakjelasan tersbut pada akhirnya berdampak pada anggapan bahwa Direksi “pilih kasih” terhadap Y dan H. Pada kenyataannya, Direksi menilai bahwa kompetensi Kepala MP VE belum dimiliki oleh W. Jika keputusan tersebut dapat dikomunikasikan dengan baik serta dilengkapi dengan data yang terukur seperti analisis jabatan, evaluasi jabatan, dan assessment yang independen, W mungkin dapat menerima keputusan Direksi.

Etika bisnis yang baik juga seharusnya tidak membenarkan perbuatan Direksi tersebut. Sikap membatasi informasi tentang keputusan yang diambil menyebabkan pihak-pihak tertentu tidak suka. Seharusnya Direksi sebagai pihak yang memiliki posisi lebih tinggi, dapat memberikan kenyamanan bagi bawahannya. Etika bisnis tidak selalu bersifat antara anggota dalam satu level (horizontal), tetapi juga bersifat atasan dan bawahan (vertical). Penghargaan dan apresiasi dapat menunjukkan etika bisnis yang baik dari atasan kepada bawahannya.

Permasalahan lainnya adalah sikap tidak dapat menerima W terhadap keputusan Direksi. Sikap tersebut kemudian diperparah dengan adanya move-move yang tidak sehat dalam menjatuhkan kredibilitas atasannya, yaitu Y dan H. Langkah yang diambil oleh W yang merasa mampu dan kredibel sebagai Kepala MP di tunjukkan dengan melakukan penahanan informasi bagi pihak luar sehingga pada akhirnya berdampak pada kinerja MPVE secara keseluruhan. Tanda-tanda buruknya organisasi mulai terlihat seperti mulai terlalu banyaknya pegawai sebagai langkah untuk memperkuat pengaruh dan power W dengan cara memasukkan “orang-orangnya” ke dalam MP-VE, sehingga memperbesar jumlah karyawan. Kemudian dikarenakan berbagai kepentingan di internal tersebut mulai terlihat adanya toleransi terhadap ketidakkompetenan beberapa stafnya. Informasi tentang MP-VE menyebabkan prosedur-prosedur administrasi menjadi berbelit, karena segala hal harus diketahui oleh W.

Komunikasi yang dijalin baik kepada pihak internal terutama pihak eksternal semakin tidak efektif. Dalam hal struktur organisasi juga tidak mengalami perkembangan ataupun perubahan ke arah yang lebih baik karena menghindari terjadinya perubahan kekuasaan. Cenderung kepemimpinannya menyalahkan bawahan ataupun staf-stafnya, bahkan berburuk sangka kepada pihak eksternal secara berlebihan.

Dikarenakan sifat dan gaya kepemimpinan seperti yang telah dijelaskan diatas, menjadikan W resistensi terhadap perubahan. Terlalu banyaknya intrik-intrik dan politik-politik kotor di dalam kegiatan ataupun caranya mendapatkan jabatan ataupun mempertahankannya. Dengan membuat komunitas baru yang dia percaya, kepentingan-kepentingan kelompok tertentu menjadi mencuat, contohnya dengan W banyak memasukkan lulusan dari universitas tertentu. Disebabkan seperti yang telah dijelaskan diatas resistensi terhadap perubahan kemudian komunikasi yang tidak efektif, struktur organisasi yang sudah usang menyebabkan inovasinya menjadi turun.

Tetapi sebenarnya secara kemampuan teknis W memiliki kemampuan yang cukup baik dan handal dikarenakan pengalaman dan jam terbangnya. Tetapi kepemimpinan tidak hanya membutuhkan kepintaran dalam hal ini skill dan knowledge, tapi membutuhkan sebuah wisdom.

Dilihat dari sisi etika bisnis, perlakuan W terhadap pihak luar tidak dapat diterima. Seharusnya W dapat menerima keputusan yang telah diberikan oleh Direksi dan membiarkan pihak luar (Y dan H) melakukan manajerial MPVE secara lebih terbuka. Seharusnya W lebih mengeksplor kemampuan manajerialnya dengan lebih baik dengan cara lain tanpa menghalangi kesempatan orang lain menjadi lebih baik.

Sikap resiten dan move-move tidak sehat yang dilakukan W juga tidak sepatutnya dilakukan. Organisasi yang baik seharusnya terbuka dan selalu menuju kearah yang lebih baik. Sikap yang ditunjukkan oleh W juga tidak sesuai dengan norma dan etika yang berlaku di dunia kerja. Persaingan seharusnya dilakukan secara sehat dan terbuka, bukan dengan melakukan gerakan bawah tanah yang bertujuan menjatuhkan pihak-pihak lain. Tanpa disadari, gerakan bawah tanah W melalui move-move tidak sehat dan politik kotor telah menjatuhkan martabat dan anggapan orang lain terhadap dirinya.

BAB IV. KESIMPULAN

Etika dan komunikasi dalam suatu interaksi organisasi adalah hal yang tidak dapat dipisahkan, baik secara internal organisasi maupun eksternal organisasi. Kedua aspek tersebut memegang peranan penting dalam proses bisnis perusahaan. Komunikasi yang efektif memberikan solusi dan peluang bagi perusahaan sedangkan etika bisnis yang baik memberikan image yang baik pula bagi perusahaan

Pada interaksi bisnis di internal PT.Surveyor Indonesia, terjadi konflik kepentingan yang berawal dari buruknya komunikasi organisasi serta tidak diterapkanya etika bisnis yang baik. Permasalahan berawal dari proses komunikasi bisnis Direksi yang kurang baik dalam menjelaskan alasan pengambilan keputusan di MPVE. Direksi tidak dapat memberikan pengertian kepada W tentang keputusan pengangkatan Y dan H sebagai Pimpinan MPVE. Hal tersebut menyebabkan W yang merasa lebih mampu menangani MPVE tidak suka dan melakukan pergerakan bawah tanah berupa move-move tidak sehat, politik kotor, dan resisten terhadap pihak luar.

Pribadi W sebagi bawahan pun tidak dapat dibenarkan. Sikap yang ditunjukkan menunjukkan buruknya pengendalian diri dan pada akhirnya terlihat pada buruknya komunikasi serta etika bisnis W. Sikap tidak mau berkoordinasi dengan orang lain, tertutup pada pihak luar, tidak percaya pada Direksi, mositidak percaya serta kesengajaan membuat orang lain tidak nyaman menunjukkan buruknya proses komunikasi dan etika bisnis yang diterpakan oleh W.

Komonikasi dan etika bisnis yang buruk akan berdampak tehadap kenyamanan karyawan lain dan kinerja perusahaan secara keseluruhan. Statement tersebut dibuktikan dengan kurang berkembangnya kinerja MPVE dibawah W.

Daftar Pustaka

Bertens, Keer. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Kanisius. Yogyakarta

Keraf, Sonny. 1998. Etika Bisnis : Tuntunan dan Relevansinya. Kanisius. Yogyakarta

Purwanto, Djoko. 2000. Komunikasi Bisnis. Cetakan Ketiga, Jakarta

Siagian, Sondang. 1996. Etika Bisnis. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta